» » » » Poten Usaha Kerajinan di Desa

Entah sejak kapan dan siapa yang pertama kali membawa kerajinan anyaman bambu ini ke Dusun Ciloagirang Desa Muktisari, yang jelas seluruh masyarakat Dusun Ciloagirang  merasa bersyukur dan berterimakasih kepada leluhurnya yang telah mewariskan kerajinan ini.

Dusun Ciloagirang adalah salah satu Dusun yang ada di Desa Muktisari Kecamatan Cingambul kabupaten Majalengka yang memiliki jumlah penduduk 970 orang  dengan luas wilayah 50,28 Ha yang terdiri dari lahan darat 34, 33 Ha dan tanah sawah 16,55 Ha, sebagaian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, namun dari hasil tani mereka setiap tahunnya selalu kekurangan, sehingga disela-sela bertani  mereka menyempatkan diri sebagai pengrajin anyaman bambu.

Bakul atau Boboko, atau ceceting, itulah nama benda yang setiap hari diproduksi oleh masyarakat di Dusun ini yang mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan produk-produk daerah lain. Ciri khas yang dimiliki pengrajin daerah ini diantaranya dari segi bentuknya yang yang tinggi tetapi agak ramping, anyamannya berpariasi dari mulai bentuk kubeng, kepang, hingga  mata walik. Awalnya bakul ini tidak pakai tutup, tetapi seiring dengan kemajuan jaman, maka belakangan ditambah menjadi pakai tutup.

Hasil produksi anyaman dari dusun ini tidaklah sedikit, setiap minggunya bisa mencapai ratusan kodi yang dipasarkan oleh pengepul atau bandar ke berbagai pelosok di Jawa Barat, seperti Rajagaluh Majalengka, Rajadesa Ciamis, kota-kota di Tasikmalaya,  Garut,  Bandung, Bogor, Jakarta, bahkan sampai ke Pulau Sumatra. Harganya pun berpariatif dari mulai Rp 50.000,- per kodi hingga Rp 700.000,- per kodi. Hal ini tergantung dari bentuk dan kualitas bakul tersebut.

Tak heran sejak dulu sampai sekarang masyarakat di dusun ini tak pernah ada yang kelaparan, sebab dari anak usia SLTP hingga usia kakek nenek mereka terbiasa memproduksi boboko ini dan mampu menghasilkan beberapa rupiah untuk bekal hidup mereka, bahkan tak jarang banyak masyarakat yang merantau ke kota besar dan kurang sukses mereka akhirnya balik lagi ke kampung dan menjadi pengrajin bakul

Dari kesuksesan mereka menjadi pengrajin membawa dampak positif terhadap kemajuan pembangunan di desa, sikap gotong royong dan saling membantu masih melekat erat di  jiwa warga, banyak sudah program pembangunan di desa yang menyerap banyak swadaya masyarakat, seperti halnya program ADD dan PNPM yang hampir separo biayanya dari swadaya masyarakat, sehingga tak heran bila setiap tahunnya pembangunan di Desa Muktisari terus meningkat.

Sebenarnya pembuatan bakul ini tidaklah serumit yang dibayangkan, asalkan ada kemauan untuk belajar siapa pun pasti bisa, hal ini terbukti dengan banyaknya orang pendatang yang sudah mahir membuat boboko ini. Prosesnya sangat mudah, dimulai dari memilih bahan yang baik yaitu sebatang bambu muda yang memiliki ruasan yang panjang (kira-kira 50 cm) kemudian dipotong dan dibuang bukunya, lalu dibuang kulitnya dengan cara dikerik dan dibelah kecil-kecil lalu diiris tipis sehingga menghasilkan lembaran-lembaran bambu yang tipis yang dihaluskan kemudian siap digunakan sebagai bahan dasar anyaman. Anyaman dimulai dari bagian bawahnya sehingga membentuk persegi empat dengan ukuran kira-kira 15cm x 15 cm kemudian dianyam  menjadi bentuk persegi dengan tinggi lbih kurang 7 cm kemudian ditambah sisipan bambu yang runcing lalu dianyam hingga ujung. Setelah selesai proses menganyam diteruskan dengan proses pemberian wengku yaitu bambu yang dibelah dua dan dibuat menjadi bulat kemudian dijepitkan di ujung anyaman tadi, kemudian diikat menggunakan lilitan tali dari bahan pelastik hingga selesai, kemudian terakhir pemasangan kaki yang menggunakan bahan bambu bagian tengahnya yang dibuat persegi empat kemudian diikat pula ke badan bakul menggunakan tali pelastik juga. Sekarang bakul siap dipakai atau dijual.

«
Next
This is the most recent post.
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar: